Pray for Palestina

Semestinya kita tidak di sini, tak pantas bila pada detik ini kita masih punya waktu untuk bercanda. Terlalu hina kalau kita masih mampu tertawa. Arahkan lah segenap perhatian kita ke tempat nun jauh di sana, di negeri para syuhada, Palestina. Lalu berkacalah tentang diri kita sebenarnya, terhadap apa yang terjadi di tanah para Nabi itu.
Apa yang kita khawatirkan hari ini dari nasib saudara seiman kita di sana, pernahkah seusai shalat kita selalu meyelipkan sebait doa untuk nasib mereka. Ini bukan sekedar pertayaan, tapi sebuah kesadaran yang mendalam akan makna keimanan.
Malu, ya sepatutnya kita menjadi pribadi yang sangat malu. Saat saudara – saudara kita berjuang mempertaruhkan nyawanya untuk mempertahankan keimanan, namun di sini kita dengan mudahnya menggadaikan keimanan kita sendiri. Kita kerap sedih dengan urusan dunia, merasa sangat malang saat diterpa ujian. Padahal apa yang kita alami selama ini, belum ada apa – apanya bila dibandingkan penderitaan yang mereka alami.
Malam kita adalah malam yang indah, kita masih bisa tidur dengan tidur yang nyenyak. Siang kita adalah siang yang cerah, kita masih bisa makan dengan makanan yang enak. Namun, para penduduk di tanah para syuhada sana. setiap malam mereka adalah malam yang kelam, terangnya cahaya rembulan tak bisa mereka nikmati karena tertutupi kepulan asap dari bom – bom yang dilontarkan para iblis laknatullah.
Demikian juga siang mereka, semestinya mereka bisa menikmati hangatnya sinar matahari. Tapi, apa yang mereka rasa. Siang mereka adalah siang yang begitu menyengat, karena di mana – mana para Iblis mengobarkan api dari moncong – moncong senjata mereka. Sepatutnya, merekalah yang bersedih karena nikmat ketentraman seperti yang kita alami tak bisa mereka peroleh.
Tapi kini, mengapa kita yang justru merasa sangat malang, baru Allah uji dengan cobaan sedikit saja kita sudah merasa sangat berduka. Mungkin inilah sebuah alasan, mengapa kita tidak pantas Allah lahirkan di bumi para syuhada itu, kita terlalu lemah. Air mata kita terlalu mudah tumpah untuk urusan – urusan yang sepele, urusan yang tidak berkontribusi apapun untuk kebaikan akhirat kita.
Berkacalah akan siapa diri kita hari ini, dari apa yang telah terjadi di bumi Palestina. Renungkanlah apa peran yang telah kita lakukan untuk kebangkitan agama yang mulia ini. Jangan katakan kalau kita belum pernah melakukan apa – apa, jangan sebutkan kalau saat ini kita sendiri tak mengerti apa yang telah kita kerjakan untuk agama Allah ini.
Sadar atau tidak, saat ini bukan waktunya kita untuk mengutuk diri atas kelalaian selama ini. Detik ini adalah waktunya bagi kita, untuk bersegera ambil bagian dalam kebangkitan Islam hari ini, terserah apapun itu peran kita. Meskipun kita hanya mampu melontarkan kebencian dari hati atas perlakuan kaum kafir, walau itu masih tidak berarti apa – apa untuk memuliakan agama ini.
Semua itu terserah bagi kita, apakah kita ingin hadirnya di dunia ini hanya sekedar mengisi ruang dan waktu saja, tak memiliki arti. Setelah maut memanggil, yang tersisa hanya tulang – belulang yang tak dikenal. Dan tentu Sangat merugi dan sekaligus memalukan, saat Allah menghadirkan begitu banyak nikmat untuk kita. jangankan untuk membantu agama ini, menyelamatkan diri sendiri saja pun kita tak bisa.
Semestinya, meskipun kita tidak hadir membantu mereka di sana. Tapi mereka masih bisa mengulum senyum saat mendengar kabar, bahwa di sini kita juga gigih mempertahankan keimanan. Ada di hati mereka sedikit ruang kebahagiaan, saat mengetahui bahwa nikmat ketentraman yang Allah limpahkan menjadi modal kita untuk membangun kemuliaan agama ini.
Dari bumi Palestina, mari kita berkaca atas hakikat diri kita sebenarnya. Bertekadlah, untuk menjadi bagian dari kebangkitan agama Allah ini. Sehingga saat di akhirat nanti ketika Allah menyambut para syuhada untuk masuk ke dalam surgaNya, Rasulullah tersenyum bahagia. Mengapa? Karena dalam barisan para Syuhada itu Rasulullah mendapati, bahwa satu di antaranya adalah diri kita.
“dan berapa banyak Nabi yang berperang bersama – sama mereka sejumlah besar dari pengikutnya yang bertakwa, mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah. Dan tidak lesu dan tidak pula menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang – orang yang sabar” (Q.S Ali Imran : 146)






Source kaskus.us & filsafat.kompasiana.com
 
 
Copyright © My Ciut